MENGAPA ANAK KEBUTUHAN KHUSUS HARUS DI BERIKAN PELATIHAN KETRAMPILAN KHUSUS
Selama ini penelitian selalu menekankan bahwa masalah slow learner, Boderline dan PDD noss selalu ditandai dengan adanya masalah keterlambatan bicara pada anak usia balita. Padahal masalah tersebut merupakan masalah yang tidak hanya menyebabkan anak mengalami keterlambatan bicara tetapi lebih kepada masalah adanya hambatan pada perkembangan tahapan proses kognitif. Hambatan pada tahapan perkembangan kognitif disebabkan karena aliran neurotransmitter yang kurang baik sehingga mengganggu kecepatan proses pada fungsi kognitif. masalah keterlambatan proses tersebut berakibat pada semua kegiatan pembelajaran di sekolah.
Walaupun masalah ini dianggap sebagai masalah keterlambatan perkembangan pada masa anak-anak tetapi standart kompetensi sekolah mengharuskan pencapaian nilai diatas KKM, kondisi ini sulit di capai setelah anak menginjak usia 14 tahun dan tidak mengalami kemajuan yang berarti. Masalah ini harus cepat diatasi sebelum menjadi masalah psikologis yang jauh lebih kompleks. Oleh sebab itu klinik psikoneurologi Hang lekiu tidak hanya memberikan pelayanan untuk terapi dan home schooling tetapi juga kursus. Sebenarnya pemberian kursus untuk anak kebutuhan khusus lebih mengutamakan pada kemampuan ketrampilan anak agar bisa hidup mandiri di masa depan. Inti permasalahan mengapa pemberian kursus dianggap penting karena masalah slow learner bukanlah dianggap sebagai masalah kesulitan belajar biasa, tetapi harus dilihat dari sudut pandang neurobiologis. Keterbatasan pada fungsi neurobiologis menyebabkan anak kebutuhan khusus tidak dapat menguasai sejumlah ketrampilan. anak kebutuhan khusus sering mengalami kegagalan untuk mengikuti sejumlah kursus dalam kelas umum. untuk itu klinik psikoneurologi hang lekiu mengembangkan sistem pengajaran ketrampilan komputer multi media dan kemampuan bahasa ingrris.
SIAPA SAJA YANG TERMASUK ANAK KEBUTUHAN KHUSUS (ABK)
Anak kebutuhan khusus (ABK) adalah anak yang sejak awal masa perkembangan mengalami masalah pada fungsi perkembangan dan adanya cacat yang bersifat menetap. seperti yang kita ketahui anak kebutuhan khusus memiliki tingkatan kecerdasan sehingga mereka ada yang dapat menerima pelatihan dan pendidikan ada yang tidak. untuk itu penting sekali dilakukan pemeriksaan apakah anak kebutuhan khusus itu dapat mengikuti kegiatan tersebut melalui test psikologi. anak kebutuhan khusus yang dianggap dapat mengikuti pelatihan dan pendidikan adalah anak kebutuhan khusus yang tergolong Slow learner, Borderline dan PDD noss dengan IQ sekitar 70-90. anak kebutuhan khusus dengan IQ tersebut dapat digolongkan sebagai anak dengan taraf kemampuan dibawah normal atau setaraf dengan kemampuan anak yang mengalami border line (low average). Anak kebutuhan khusus yang mengalami slow learner biasanya pada masa batita memiliki kesulitan di dalam kemampuan berjalan dan berbicara, tetapi kemampuan ini akan berkembang seiring dengan bertambah usianya hanya saja pada kecepatan prosesnya tetap menunjukan keterlambatan.
Anak yang mengalami slow learner pada umumnya memiliki intelegensi 70-85 atau yang biasa disebut dengan mild mental retarded atau digolongkan dalam taraf low average atau boderline. Untuk itu sejauhmana kemampuan otak dalam memproses informasi dapat diukur dengan alat test baku seperti test WISC.
Dalam tabel diatas dapat terlihat penggolongan taraf intelegensi. Anak yang digolongkan slow learner memiliki taraf intelegensi antara 80 sampai 89. Kondisi ini secara otomatis menggambarkan kemampuan yang berbeda dengan taraf intelegensi di atas maupun di bawahnya.
dalam gambar dibawah ini dijelaskan bahwa anak yang mengalami slow learner selalu ditandai dengan proses keterlambatan perkembangan. Masalah ini bersifat sementara dan akan mengalami perbaikan setaraf untuk mulai mengejar keterlambatannya saat anak mencapai usia 14 tahun. Pada usia 14 tahun anak pada umumnya sudah memiliki kecepatan proses pengolahan informasi dan kemampuan fungsi kognitif yang sesuai dengan standart usianya.
Dalam gambar diatas dapat terlihat bahwa kemampuan bahasa dan komunikasi berkaitan dengan sejumlah kemampuan. Anak yang memiliki kemampuan bicara, berbahasa yang baik jelas akan menunjukan kemampuan membaca, menulis, bermain, interaksi sosial, belajar, pengelolaan emosi, kemampuan problem solving sampai dengan kemampuan berpikir.
Anak yang telah memiliki kesiapan memasuki dunia sekolah pada umumnya sudah memiliki kemampuan bicara, berbahasa dan berkomunikasi dengan baik. Kondisi ini menggambarakan bagaimana pentingnya mendorong anak pada usia batita untuk dapat mengembangkan kemampuan berbahasa pada usia prasekolah. Melalui kemampuan berkomunikasi dan berbahasa sudah tentu seorang anak akan mengembangkan kemampuan fungsi kognitif lainnya. Kondisi ini secara otomatis akan memperlihatkan tolak ukur kecerdasan seorang anak
“Mengapa Anak Slow Learner Memiliki IQ Yang Rendah?”
Pada intinya semua otak berfungsi aktif di dalam memproses bahasa. Kedua belah otak saling membantu di dalam mengubah konsep bahasa menjadi suatu bentuk pemahaman dan di rekam di dalam memori. Proses berfungsinya otak terjadi secara bertahap dimulai dari kemampuan pada fungsi attention, memori, pemahaman, kontrol perilaku, analisa, sintesa sampai dengan kreatifitas berpikir. Oleh sebab itu anak yang masalah slow learner memiliki taraf kecerdasan intelektual yang rendah bukan berarti anak mengalami kerusakan pada bagian otaknya. Kondisi ini lebih kepada adanya gangguan sehingga menghambat tahapan perkembangan fungsi kognitif.
Masalah hambatan pada tahapan perkembangan fungsi kognitif sangat dipengaruhi oleh kecepatan dalam memproses informasi. Kecepatan di dalam memproses informasi inilah yang diukur sebagai taraf kecerdasan atau IQ. Oleh sebab itu anak dengan slow learner memiliki taraf intelegensi yang rendah sebagai penggambaran kecepatan dalam kerja memproses working memori.
Transley dan R. Gulliford (1971: 4) menjelaskan bahwa karakteristik siswa Slow learner
(siswa lambat belajar) adalah sebagai berikut:
- Keadaan fisik pada umumnya sama dengan murid-murid normal. Dengan melihat keadaan fisiknya saja tidak dapat dibedakan mana yang normal dan mana yang lambat belajar. Para ahli baru dapat membedakan antara murid belajar dengan murid normal setelah mengadakan pengamatan dan tes psikologi.
- Kemampuan berfikirnya agak rendah, sehingga lamban dalam memecahkan masalah-masalah yang sederhana. Hal ini menyebabkan mereka kalah bersaing dengan teman-temannya yang normal.
- Ingatannya agak lemah dan tidak tahan lama. Mereka lekas lupa dan biasanya tidak mampu mengingat-ingat suatu peristiwa yang terjadi tiga tahun yang lewat. Dalam proses belajar mengajar di sekolah, apa yang diterangkan oleh guru hari ini biasanya satu minggu kemudian sudah terlupakan. Lebih lagi dalam mengingat-ingat isi buku pelajaran yang telah dipelajari sendiri. Kalau murid-murid normal dapat mengingat isi pelajaran lebih kurang 50% setelah membaca dua kali, maka murid lambat belajar hanya mampu mengingat 25% saja.
- Dalam menuntut pendidikan di sekolah dasar banyak yang mengalami putus sekolah. Enam puluh persen di antara murid-murid yang putus sekolah tergolong murid yang lambat belajar. Lebih dari separoh nilai rapornya merah. Kalau guru mengeahui masalahnya dan selanjutnya memberikan bimbingan dan bantuan seperlunya maka putus sekolah 60% itu dapat dikurangi. Biarpun agak terlambat, mereka akan dapat menyelesaikan pendidikannya di sekolah dasar. Setelah tamat sekolah dasar, mereka dapat diarahkan untuk memasuki balai latihan atau sekolah kejuruan yang lebih singkat.
- Dalam kehidupan di rumah tangga, murid lambat belajar masih mampu berkomunikasi dan bergaul secara baik dengan saudara-saudaranya. Mereka dapat belajar sendiri melakukan pekerjaan-pekerjaan dalam tata kehidupan keluarga.
- Emosinya kurang terkendali, suka mementingkan diri sendiri. Inilah sebabnya mengapa sering timbul perselisihan dengan teman-temannya. Perasaan mudah terpengaruh oleh orang lain dan lingkungannya. Tidak mempunyai pendirian yang kuat.
- Murid lambat belajar dapat dilatih beberapa macam ketrampilan yang bersifat produktif. Mereka mampu melakukan pekerjaan sendiri dengan tanggung jawab sepenuhnya.
Dari karakteristik di atas dapat terlihat bahwa anak yang mengalami slow learnermasih memiliki fungsi kognitif yang memadai untuk dilatih dan dikembangkan secara optimal. Arti kata memadai di sini kondisi otak secara struktural tidak mengalami kerusakan secara permanen tetapi lebih disebabkan kepada keterlambatan perkembangan yang akhirnya menghambat tahapan fungsi kognitif yang ada.
“Apa Saja Tahapan Proses Kognitif Yang Dapat Menghambat Fungsi Kognitif Pada Anak Slow Learner?”
Sebenarnya anak yang mengalami masalah slow learner tidak hanya mengalami masalah pada kemampuan recall memori yang berhubungan dengan daya tangkap tetapi hampir pada semua proses kognitif yang terjadi. Kemampuan attention berada pada tahapan paling awal dalam suatu tahapan proses kognitif. Sehingga proses tersebut tampak jelas pada saat anak memasuki dunia sekolah.
TERDAPAT TUJUH KARAKTERISTIK GANGGUAN DARI ANAK KESULITAN BELAJAR SEPERTI: SHORT ATTENTION SPAN, DIFFICULTY FOLLOWING DIRECTIONS, SOCIAL IMMATURITY, DIFFICULT WITH CONVERSATION, INFLEXIBILITY, POOR PLANNING AND ORGANIZATIONAL SKILLS, ABSENTMINDEDNESS, CLUMSINESS, LACK OF IMPULS CONTROL (SMITH & STRICK, 1999). TETAPI JIKA DITELITI LEBIH CERMAT TERNYATA SUMBER PERMASALAHAN PADA KASUS ANAK KESULITAN BELAJAR DAPAT DISEBABKAN DARI ADANYA HAMBATAN PADA FUNGSI KOGNITIF, GANGGUAN AFEKTIF DAN PENYESUAIAN PERILAKU. HANYA SAJA SUMBER PERMASALAHAN TERSEBUT SULIT DITELUSURI, KARENA SAAT DITEMUKAN ANAK SUDAH MENGALAMI PERMASALAHAN YANG KOMPLEKS. KOMPLEKSITAS TERSEBUT TERJADI DARI SEJUMLAH VARIABEL LATEN YANG SULIT DI UNGKAP, APALAGI BILA ANAK TELAH MENGALAMI DISTORSI KOGNITIF (A.MELANI, 2006 DALAM A. MELANI, 2011). OLEH SEBAB ITU PENTING UNTUK MELIHAT PARAMETER YANG DAPAT MENGUNGKAP KETIGA GANGGUAN TERSEBUT SECARA TERPISAH, PARAMETER INI MENGACU PADA ASUMSI BAHWA FUNGSI KOGNITIF MERUPAKAN KONTROL DARI KETIGA FUNGSI YANG MENGALAMI MASALAH (A.MELANI, 2011). PARAMETER INI MERUPAKAN PENGEMBANGAN DARI TAKSONOMY BLOOM (ANDERSON, & KRATHWOHL, 2001) YANG DIGUNAKAN UNTUK EVALUASI BELAJAR PADA ANAK SLOW LEARNER UNTUK MELIHAT SEJAUHMANA ANAK MENGALAMI PERMASALAHAN
1. MASALAH KONSENTRASI
Matlin (2002) menjelaskan bahwa kosentrasi dapat dicapai jika subyek sampai pada tahapan fase encoding yaitu fase memori yang menekankan pada proses saat pertama kali menerima dan menyimpan informasi. Pandangan ini menjelaskan dibutuhkannya tahap kosentrasi sebagai awal penentu keberhasilan proses pembelajaran.
Tahapan awal kosentrasi, seorang anak akan diupayakan untuk memiliki motivasi dan minat, khususnya dalam membaca. Menurut Schunk, Pintrich & Meece (2008) Minat adalah suatu dorongan internal untuk melakukan sesuatu. Hilgard dalam A. Melani, 2011 menekankan bahwa minat akan membuat anak dapat menikmati situasi belajar.
Pengkondisian lingkungan belajar yang nyaman merupakan cara yang digunakan untuk mencapai daya tahan kosentrasi yang diharapkan secara bertahap. Oleh sebab itu faktor internal dan ekstrenal harus dihadirkan secara bersamaan untuk menimbulkan motivasi dalam belajar. Dimana anak mampu memberikan makna dengan mengkontrol proses kognisinya sendiri dan situasi yang mendukung proses transformasi tersebut.
2. MASALAH MEMORI
Memori adalah kemampuan menyimpan sejumlah informasi dalam ingatan. Seseorang akan awareness terhadap suatu informasi jika telah memiliki sejumlah informasi di dalam ingatannya. Orang yang memiliki memori yang baik sudah tentu memiliki kosentrasi yang bagus karena working memori melibatkan empat fungsi dasar, yaitu: Attention, Encoding, Storage, Retrieval.
Daya tahan kosentrasi berkaitan juga dengan lamanya waktu yang dibutuhkan dalam menyimpan data dari Short Term Memori (STM) ke Long Term Memory (LTM). Dimana STM yang buruk akan menyebabkan data cepat hilang 50 % setelah 6-18 detik pada bacaan 96 detik dibandingkan di LTM (Eggen & Kauchak, 2004). Oleh sebab itu dibutuhkan strategi metamemori untuk dapat melatih kemampuan switching yang menghubungkan antara informasi yang baru dengan yang lama (Eysenck, 2006). Selain itu digunakan juga bentuk pronouncation di dalam menyimpan informasi. Proses pengulangan diperlukan sebagai upaya dalam mempertahankan kosentrasi untuk mendapatkan informasi dari pengalaman masa lalu, mendorong mendapatkan pengetahuan baru, memecahkan masalah, formulate, relate dan aktivitas dalam mencapai tujuan. Pengulangan terbukti memperkuat kerja komponen di dalam working memori, yaitu: Centra executive, Phonological loop dan Visuo spatial skatchpad. Dimana informasi yang masuk tidak hanya diproses ke dalam sensasi tetapi harus dirubah ke dalam pemaknaan.
Proses memori juga melibatkan proses rekontruksi, yaitu proses memperbaiki dan mengorganisasikan informasi baru dengan informasi lama agar menjadi pengetahuan seluas-luasnya melalui proses kerjasama dari proses semantik dan episodek. Seperti proses episodek yang berkaitan dengan perjalanan hidup seseorang atau outobiografis seseorang sedangkan proses semantik lebih menekankan ingatan dari informasi dan pengetahuan yang baru dengan yang pernah ada sebelumnya. Oleh sebab itu keberhasilan dalam melatih memori akan berpengaruh pada kemampuan penalaran seseorang (Kyllone & Christal, 1990).
Masalah recall memori dan recall comprehension berkaitan dengan masalah pada proses inhibtion pada executive function. Seperti yang dijelaskan diatas bahwa faktor emosional mempengaruhi aktivitas neurotranmiter dalam working memori.
Kemampuan recall memori dan recall comprehension merupakan suatu proses yang berhubungan di dalam working memori. Kemampuan recall memori merupakan bagian dari fluid intellegency yang bersamaan dengan kemampuan attention, verbal fluency, humor dan self awareness. Kemampuan fluid intelligence merupakan bagian fungsi kognitif yang dapat dikembangkan kemampuannya melalui proses pelatihan secara prosedural. Proses pelatihan secara prosedural berkaitan dengan proses pelatihan yang sifatnya automatisasi bila dilatih secara terus menerus. Oleh sebab itu kemampuan fluid intellegency inilah yang pada akhirnya akan membedakan kecepatan proses otak pada setiap anak.
Masalah yang dialami oleh anak dengan slow learner terjadi apabila fungsi attention, memori yang termasuk dalam bagian fluid intellegency lemah sehingga lambat di dalam memproses informasi. Akibatnya anak slow learner membutuhkan waktu yang lebih lama di dalam melakukan proses recall comprehension. Karena proses recall comprehension membutuhkan kemampuan untuk memanggil memori dan menarikattention.
Kemampuan recall comprehension merupakan bagian dari crystallized intellegence yang berfungsi di otak kiri. Kemampuan recall comprehension termasuk dalam kemampuan verbal. Oleh sebab itu pada test WISC anak slow learner akan memperlihatkan skor yang rendah, dengan nilai skor di bawah rata rata normal 70-90 (low average atau Boderline).
Kondisi diatas menjelaskan bahwasanya kedua fungsi otak kanan dan kiri tidak bisa bekerja sendiri tetapi harus bekerja sama untuk membentuk suatu proses kognitif yang lebih kompleks.
Oleh sebab itu proses pelatihan yang diberikan pada anak slow learner pada awalnya harus bersifat prosedural dibandingkan knowledgenya. Proses prosedural dapat memperbaiki kemampuan memori dan attention (fluid intelligence). Baru setelah anak slow learner memiliki kemampuan attention dan memeory yang baik barulah dapat masuk ke dalam kemampuan belajar. Anak yang sudah mampu belajar akan memiliki kemampuan recall comprehension (crystal intellegence) yang baik. Kondisi ini sangat penting sebagai dasar awal tahap perkembangan fungsi otaknya sbelum anak mengembangkan kemampuan pada tahap yang lebih tinggi (analisa dan sintesa).
3. MASALAH PEMAHAMAN (Comprehension)
Kemampuan pemahaman adalah proses dalam memberikan makna secara subyektif terhadap suatu pengalaman. Proses ini sudah tentu tidak hanya membutuhkan kemampuan kosentrasi tetapi juga informasi proses psikologi, sehingga penghayatan terhadap suatu pengalaman dapat menjadi subyektif bagi setiap orang. Melibatkan kondisi intrapersonal merupakan bagian dari kontrol awareness di dalam diri dengan kemampuan pemahaman kognitifnya. Seseorang yang memiliki kontrol awarenesssudah pasti dapat menentukan posisi, mengambil dan memberikan makna dari berbagai pengalaman di lingkungannya, sehingga dia dapat menginterprestasikan situasi sosial dengan baik.
Dalam kenyataanya fungsi eksekutif yang terdiri dari monitoring, evaluate fakta, indentifikasi bertujuan untuk mengkontrol secara alami dalam proses kognitif dengan kapasitas energi yang terbatas (Brown dalam A. Melani, 2011). Sehingga dibutuhkan strategi metakognitif sebagai esecutive control yang dapat melatih automatisasi seperti kemampuan phonological awareness dan decoding. Kondisi automatisasi diperoleh sebagai suatu kontrol proses kognitif di bawah sadar yang dapat mengurangi beban kontrol esekutif.
Seperti halnya anak yang membutuhkan waktu lebih lama dan mudah lelah dalam memahami tugas bacaan yang diberikan karena belum memiliki strategi metakognitif. Self monitoring ternyata dapat diperoleh ketika anak selalu menggunakan strategi di dalam membaca. Markman’s studi klasik yang mengindikasikan pada umumnya anak kecil sulit memahami bacaan karena anak kecil tidak dapat memonitor pemahaman mereka. Orang dewasa yang memiliki kelemahan di dalam monitoring pemahaman akan memiliki kemampuan membaca yang lambat, sering melakukan looking back dan rereading dalam encountering semantic, syntactic atau pengetahuan factual violations pada sentence level. Kondisi ini berbeda dengan anak yang memiliki kemampuan pemahaman yang baik jelas akan memperlihatkan kemampuannya dalam listening comprehension, good comprehension, lebih konsisten dan efektif dalam memonitoring bacaan (Kinnunen, Vauras & Niemi, 1998).
4.MASALAH KENDALI PERILAKU
Tingkah laku adalah kemampuan seseorang untuk melakukan kegiatan atau aktivitas sesuai dengan tujuan dan harapan sosial. Sejumlah teori behaviouristik menjelaskan bahwa dalam menerapkan suatu perilaku dibutuhkan namanya proses assosiatif antara proses sensorik dan proses motorik (Thondrike, 1932 dalam Thorndike & Hagen, 1987). Dalam proses sensorik ini dibutuhkan proses kognitif yang melibatkan suatu pemrosesan informasi yang canggih dan jauh berbeda dengan teori asosiasi sederhana (Hilgard, 1953). Dalam hal ini suatu proses sensorik jelas terbentuk dari pemahaman masa lalu dan pengetahuan yang telah dipelajari sampai terbentuknya self monitoring untuk mengarahkan diri melakukan sensasi dan persepsi pada stimulus yang dikehendaki.
Oleh sebab itu keberhasilan tahapan ini menekankan sejauhmana anak memiliki pemahaman yang baik terhadap lingkungan sehingga anak memiliki self regulationsebagai wujud dari kontrol awareness. Perilaku tidak hanya membutuhkan self awareness tetapi lebih kepada self regulation yang terdiri dari tahapan planningsampai dengan monitoring proses kognitifnya (Reynold, Weiner, & Miller, 2009). Sampai terbentuknya perilaku , dibutuhkan proses executing dan proses implementasi. Proses esecutive adalah kemampuan untuk mengadaptasikan perilaku menjadi suatu kebiasaan di bawah sadar. Implementasi adalah kemampuan untuk mengadaptasikan perilaku sesuai situasi.
Anak yang memiliki pemahaman yang baik ternyata memiliki kemampuan menulis yang baik (Englert, Raphael, Fear dan Anderson1988,dalam Reynold, Miller & Weiner 2009), karena anak seperti telah memiliki memiliki awareness terhadap apa yang ditulis, kondisi ini berbeda ketika anak telah memiliki pemahaman yang baik, anak seperti memiliki penjiwaan disaat menulis rangkuman, memiliki self regulation dalam menulis.
Melani (2011) melihat anak yang telah terbiasa menggunakan teknik metakognitif di dalam membaca, mampu membuat struktur menulis rangkuman yang bagus. Kondisi jelas berbeda pada anak kesulitan belajar pada umumnya terlihat tetap memiliki kesulitan di dalam teknik menulis (Durst, 1989 dalam Reynolds, Miller & Weiner, 2009). Kemampuan menulis merupakan monitoring dari proses berpikir. Karena dalam kegiatan menulis membutuhkan empat bagian dasar dari proses mental yaitu: Planning, translating idea, imajinasi kata, reviewing dan monitoring process (Flower & Hayes dalam Reynold, Miller & Weiner, 2009). Keempat bagian dasar ini membutuhkan kontrol perilaku atau self regulation dalam memonitoring menyesuaikan antara apa yang dipahami oleh penulis dan apa yang hendak disampaikan dalam tulisan oleh penulis. Englert, Raphael, Anderson, Anthony, Stevens (1991 dalam Reynolds, Miller & Weiner, 2009).
5.MASALAH ANALISA DAN SINTESA
Setelah seorang anak memiliki kemampuan self monitoring, self awareness dan self regulation. Anak baru dapat melatih strateginya dalam berpikir. Proses berpikir sehari-hari selalu melibatkan usaha untuk melakukan problem solving secara memuaskan. Hanya saja kemampuan problem solving lebih lambat sampai dewasa sehingga membutuhkan strategi dalam berpikir seperi kemampuan analisa dan sintesa yang baik (A.Melani, 2011).
Selain itu strategi berpikir berguna dalam membantu memperbaiki kemampuan dasar kognitif pada anak. Setelah masuk ke dalam tahapan analogi barulah sesorang mampu membentuk skema sebagai kemampuan merekontruksi stimulus dan akhirnya tersimpan kedalam LTM. Proses pembentukan skema di dalam LTM didasari pada teori gestalt, yaitu: Hukum Pragnanz, Similarity Good continuation, Proximity, Common fate, Familiarity, Common region, Uniform connectedness, Synchrony.Kemampuan analisa dalam tahapan proses kognitif termasuk kemampuan di dalam mendiferensiasi sebagai kemampuan membedakan permasalahan dalam bacaan dengan menggaris bawahi inti kalimat tersebut dalam suatu paragraf (A.Melani, 2011).
Manusia memiliki otak yang tersusun atas dua bagian yaitu otak bagian kiri dan otak bagian kanan. Kedua bagian otak kini dikenal dengan sebutan hemisfer, kedua hemisfer memiliki fungsi yang berbeda walaupun secara struktural memiliki kemiripan. Seperti gambar dibawah terlihat bahwa kedua belahan memiliki fungsi yang berbeda. Hemisfer kiri berfungsi dalam kemampuan matematika, bahasa, membaca, menulis, logika, urutan, sistematis, analitis, sedangkan hemisfer kanan berfungsi dalam kemampuan kreativitas, konseptual, inovasi, gagasan, gambar, warna dan musik.
Hemisfer yang berperan dalam proses urutan dan analisa disebut Hemisfer katagorikal. Hemisfer ini berfungsi dalam visuospasial dan hemisfer representasional. Kemampuan berbahasa terutama berkembang pada katagorikal. Dominasi atau laterisasi ini berkaitan dengan penggunaan tangan visi yang dominan (96% orang yang menggunakan tangan kanan). Fungsi Hemisfer visuospasial mampu menginterpretasikan reaksi parsial, peta, geometric, prosody yaitu komponen percakapan yang membantu menekankan suatu makna contohnya ada melodi impleksi, intonasi dan pemberhentian dalam menyusun narasi.
Fungsi Laterisasi terjadi secara serentak pada seluruh bagian kognitif. Kemampuan ini meliputi anatomi pada hemisfer kiri dan kanan. Walaupun pada umumnya orang mengatakan bahwa hemisfer kiri lebih dominan dalam kemampuan bahasa namun dalam kenyataannya hemisfer kanan memiliki bagian Broka yang berfungi untuk menghasilkan bunyi seperti mengatur irama, tekanan pada suku kata tertentu. Proses ini berkembang dan mengalami penyesuaian secara plasitisitas tergantung intervensi pada masa anak-anak.
6.MASALAH SINTESA
Dalam memasuki tahapan ini pada umumnya seorang anak harus dapat berpikir abstrak setelah memasuki usia 12 tahun. Pada tahapan ini anak akan diajarkan untuk tidak memandang solusi secara kaku dan tertutup. Anak akan diajarkan bagaimana caranya menjelaskan suatu hubungan struktur, pola hubungan dengan membuat kesimpulan atau solusi dengan kalimat sendiri bedasarkan sudut pandangnya. Anak slow learner akan diminta membuat kesimpulan dengan mengarang sendiri kalimat dan disesuaikan dengan skema berpikirnya sehingga lebih mudah di dalam proses penyimpanan memorinya. Hal ini berkaitan dengan proses internalisasi pemahaman dalam bahasa yang familiar di dalam memori. Dalam hal ini anak akan belajar membuat kalimat silogisme agar dapat membuat kesimpulan secara deduktif atau induktif. Membuat kesimpulan dari persamaan makna yang ada dan menghubung-hubungkannya. Keberhasilan pada tahapan ini akan membuat anak terampil dalam menyusun analogi pemahaman pada suatu permasalahan.
Dalam Taksonomi Bloom (Anderson & Krathwohl, 2001) Tahapan Sintesa dibagi atas tiga kelompok: Similarities yaitu proses menyimpulkan konsep bedasarkan kesamaan sejumlah kata. Hipothesis: Kemampuan menyimpulkan sejumlah konsep secara abstrak menjadi suatu hipothesis. Membuat kesimpulan dengan kalimat sendiri dalam susunan SPOK Conclusion: Menyimpulkan dengan kalimat sendiri yang dihubungkan dengan informasi dan teori yang mendukung sehingga menjadi suatu cerita yang menarik.
7.MASALAH EVALUASI.
Evaluasi adalah kemampuan anak untuk melakukan penilaian dari sejumlah pemahaman yang telah diperoleh (Bloom dalam Anderson & Krathwohl, 2001). Dalam tahapan ini seorang anak harus memiliki tidak hanya kemampuan dasar dalam berpikir tetapi juga strtagei dalam berpikir. Karena strategi berpikir akan membantu kecepatan seseorang di dalam melakukan evaluasi. Dalam hal ini pelatihan ditunjukan untuk menghilangkan unsur subyektifitas sehingga memiliki obyektivitas dalam berpikir, karena kemampuan evaluasi merupakan proses pengujian kemampuan diri yang dapat dinilai juga oleh orang lain (Reynold, Miller & Weiner, 2009).
Bloom (Anderson & Krathwohl, 2001) membagi evaluasi dalam dua tahap, yaitu: Cheking dan kritik. Chek adalah kemampuan mendeteksi ketidakkonsistenan atau fallacies di dalam memproses produk, menentukan apasaja proses atau produk memiliki konsistensi internal. Mendeteksi keefektifan prosedur yan dapat diimplementasikan. Dengan mengkoordinasikan, mendeteksi, memonitoring dan testing. Kritik berguna untuk mendeteksi ketidak konsistenan antara produk dan kriteria eksternal, menentukan prosedur untuk memberikan sebuah problem. Dalam tahapan evaluasi seorang anak biasanya diberikan pelatihan dalam bentuk pertanyaan dengan jawaban yang terbuka dan tertutup.
8.MASALAH KREATIVITAS BERPIKIR
Kreatifitas berpikir menurut Conny Setiawan adalah suatu bentuk keberbakatan yang sifatnya genetik dan kognitif. Arti genetik disini adalah kemampuan tersebut diturunkan secara genetik. Sifat kognitif disini adalah kemampuan yang dapat dioptimalkan dengan pelatihan kognitif. Treffinger (Conny R. Semiawan, 2009) menjelaskan bahwa kreatifitas tidak hanya membutuhkan suatu kemampuan kognitif tetapi juga afektif. Kemampuan kognitif yang tinggi meliputi kemampuan memori, berpikir kritis, berpikir deduktif, analogi dan interferensi. Kemampuan afektif yang tinggi meliputi perasaan nyaman untuk mengembangkan rasio, perasaan, intuisi dan sensing yang membutuhkan hubungan intimitas yang kondusif bersama orang disekelilingnya.
Kemampuan afektif antara lain adalah Rasio, Perasaan, Intuisi dan Sensing
Keberhasilan pada tahap kreativitas menurut Gardner pada akhirnya akan mencapai suatu bentuk intelegensi yang berani mengambil resiko, memainkan peran yang positif, berpikir kreatif, merumuskan dan mendefinisikan masalah, tumbuh kembang dalam mengatasi masalah, toleransi terhadap masalah ganda, menghargai sesama dan lingkungan sekitar (A.Melani, 2011).
Oleh sebab itu bedasarkan keterbatasan yang dimiliki oleh anak slow learnersudah tentu harus segera diatasi dengan mengutamakan pemberian ketrampilan yang bersifat khusus. ketrampilan tersebut harus sesuai dengan tahapan kemampuan kognitif yang mereka miliki. tujuannya agar tercapai kemandirian untuk berkarya di masa depan.
Modul pembalajran komputer Multimedia
Pembelajaran di Homeschooling dan Kursus Multimedia Metakognisi